Jumat, 04 Maret 2011

Mengapa kita perlu mempertanyakan hal ini ?

بِسْمِاللّهِالرَّحْمنِالرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.



Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Keseluruhan isi halaman dalam blog ini adalah merupakan hasil karya suatu niat dari Penulis untuk para Pembaca, mengingat kewajiban kita sebagai sesama mahluk yang diciptakan untuk saling "mengingatkan", baik kepada Penulis sendiri maupun kepada Pembaca agar senantiasa mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Maka marilah kita semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT agar jalan hidup kita senantiasa diberkahi dan diridhoi Allah SWT.

Berangkat dari sebuah keyakinan kita sendiri, bahwa kita manusia, adalah makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta (Allah SWT.). Dalam konteks kalimat ini maka timbulah sebuah pertanyaan yaitu, " Untuk apakah manusia diciptakan ? ", tentulah kita akan menyandarkan pertanyaan ini kepada ayat Al-Qur'an untuk menemukan jawabanya , dimana disebutkan bahwa Manusia yang diturunkan ke Bumi adalah sebagai Khalifah.

Allah SWT berfirman,


وَإِذْقَالَرَبُّكَلِلْمَلاَئِكَةِإِنِّيجَاعِلٌ فِيالأَرْضِخَلِيفَةًقَالُواْأَتَجْعَلُفِيهَا مَنيُفْسِدُفِيهَاوَيَسْفِكُالدِّمَاءوَنَحْنُنُسَبِّحُبِحَمْدِكَوَنُقَدِّسُلَكَ قَالَإِنِّيأَعْلَمُمَا لاَتَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:`Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi `. Mereka berkata:` Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? `Tuhan berfirman:` Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui `.
(QS. 2:30)

Dan pada ayat-ayat berikutnya, Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, (suatu bagian dari ilmu Allah yang tidak diajarkan-Nya kepada makhluk lainnya termasuk kepada Malaikat) sehingga para Malaikatpun memuji Allah dan menuruti Perintah Allah untuk sujud kepada Adam, kecuali Iblis.

Kisah ini diceritakan secara berurutan dalam ayat-ayat selanjutnya hingga pada Ayat berikut dibawah ini :

Allah SWT berfirman,

فَتَلَقَّىآدَمُ مِنرَّبِّهِكَلِمَاتٍ فَتَابَعَلَيْهِإِنَّهُهُوَالتَّوَّابُالرَّحِيمُ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(QS. 2:37)

قُلْنَااهْبِطُواْمِنْهَاجَمِيعاًفَإِمَّايَأْتِيَنَّكُممِّنِّيهُدًى فَمَنتَبِعَهُدَايَفَلاَخَوْفٌعَلَيْهِمْ وَلاَهُمْيَحْزَنُونَ

Kami berfirman: `Turunlah kamu dari syurga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati`.
(QS. 2:38)


وَالَّذِينَكَفَرواْوَكَذَّبُواْبِآيَاتِنَاأُولَئِكَأَصْحَابُالنَّارِ هُمْفِيهَاخَالِدُونَ

Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(QS. 2:39)



Dari Ayat diataslah, Penulis mengangkatnya menjadi Topik utama halaman dalam blog ini, dimana ini merupakan awal dari Perjalanan/Misi panjang seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Allah SWT dalam ayat diatas telah menerangkan kepada Nabi Adam As. bahwa akan ada 2 (dua) Golongan yang akan terlahir dari keturunannya kelak, yaitu yang Pertama adalah Golongan Orang yang diberi Ilmu serta tetap mengikuti Petunjuk, dan yang kedua adalah Golongan Orang yang mendustakan Ilmu/Petunjuk tersebut sehingga Allah SWT. menjadikan hal itu sebagai alasan mereka menjadi penghuni Neraka. 

Sebuah Riwayat dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa beliau berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati, dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya dengan sanad dha’if marfu’, lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22).

Perjalan panjang manusia ini merupakan sebuah perjuangan, karena kita akan selalu berjuang dan berusaha untuk masuk kedalam Golongan yang Pertama dengan jalan beribadah dan Istiqomah hingga akhir hayat kita, meskipun hal ini tentulah tidak akan mudah karena kita disertai pula dengan Nafsu. Dimana Nafsu inilah yang akan menjadikan kita "berjalan lurus" atau "Tersesat", tergantung bagaimana kita memeliharanya.
Maka adalah sebuah Tanggung jawab besar bagi kita terhadap generasi selanjutnya, yaitu manusia baru, yang lahir sebagai keturunan kita masing-masing, untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak keturunan kita agar dapat menjaga dan memelihara nafsu ini dengan baik.

Kalau seorang hamba tulus dalam beribadah dengan ikhlas kepada Allah dan tidak berniat mencari pujian manusia, niscaya dia akan berjuang menundukkan hawa nafsunya di kala sendirian sebagaimana ketika dia bersama dengan orang-orang. Dengan demikian, dia akan menjadi sosok ahli ilmu yang sejati, yang merasa takut kepada Allah ketika bersama orang lain maupun ketika sepi dan sendiri. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu masih terus disebut sebagai orang bodoh sampai beramal dengan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya maka barulah dia menjadi orang yang alim.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ al-Ilmi al-’Amala)

Jika kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan, tentu jalan hidup kita menjadi lebih mudah, lebih nyaman dan lebih teratur dan berkesinambungan. Dalam bermasyarakat, tentu kita menginginkan keteraturan dan kesinambungan dalam berbagai bentuk kebaikan. Nah, salah satu di antara bentuk-bentuk kesinambungan dalam kebaikan dan kataqwaan adalah tumbuhnya generasi-generasi penerus perjuangan dan dakwah islamiyah. Maka dengan demikian, tentu kita menginginkan turut berperan serta dalam melanjutkan estafet perjuangan islam ini dengan melahirkan dan mengasuh anak-anak Muslim yang cerdas, berkarakter dan shaleh.

Rasulullah SAW bersabda,

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ أوْ يُنَصِّرَانِ أوْ يُمَجُّسَانِ 

Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi. (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, orang tualah yang memiliki tanggung jawab utama dalam mendidik dan menjadikan seorang anak  sebagai pribadi yang sholeh atau sebaliknya.


Hal ini juga sesuai dengan Sabda Rasulullah lainnya,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban. (HR. Bukhori-Muslim)

Seorang pemimpin pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rumah tangga suaminya serta anak-anaknya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat. 

Anak merupakan harapan setiap orang tua dalam kehidupan rumah tangga mereka. Anak adalah kebanggaan dan dambaan. Namun terkadang anak juga dapat menjadi cobaan yang sangat berat bagi kedua orang tuanya. Karenanya, setiap orang tua mesti mendidik anak-anak mereka sesuai tuntunan agama Islam.

Anak-anak yang dididik dengan Tuntunan Islam diharapkan menjadi anak-anak yang sholeh, berbakti dan berguna bagi bangsa, negara, masyarakat dan agamanya. Tentu saja orang tuanya adalah mereka yang pertama kali memetik buah dari kesalehan anak-anaknya. 

Allah SWT berfirman, 

وَالَّلذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْناَ لِلُمُتَّقِيْنَ إِمَامًا

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” 
(QS. Al-Furqaan, 25:74)

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ 

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang shaleh. 
(QS. Ash-Shoffaat, 37:100)

Dua Ayat ini meneguhkan kepada kita, bahwa selayaknya sebagai pribadi Muslim yang beriman, tentu kita berharap untuk dikaruniai buah hati yang dapat dibanggakan, shaleh-shalihah, berbakti dan berguna bagi sesamanya.

Namun Allah Subhanahu Wata’ala juga mengingatkan kita, bahwa segala anugerah yang berupa keturunan dan segala milik kebendaan serta lain-lainnya, adalah hanya ditentukan oleh Allah SWT. karenanya, sebagai orang beriman, tentu kita tidak boleh menyalahkan siapa pun jika barangkali kita belum dikaruniai keturunan. Karena Allah-lah yang telah menentukan setiap kelahiran yang telah maupun akan muncul di muka bumi ini.  

Firman Allah, 

ِللهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ ِلمَنْ يَشَاءُ إنَاثاً وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُوْرَ ، أوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيْمًا إنَّهْ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ 

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. 
(QS. asy-Syura, 42:49-50)

Selayaknya kita senantiasa berdoa, semoga Allah mengaruniakan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada kita sekalian melalui keturunan-keturunan yang shalih dan shalihah di tengah-tengah masyarakat kita. Agar keturunan-keturunan tersebut dapat melanjutkan estafet dakwah Islam di tengah-tengah kondisi masyarakat yang semakin kompleks ini.

Namun berdoa saja tidaklah cukup. Kita harus mengupayakan sekuat tenaga agar dapat mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang dapat diandalkan oleh zamannya. Kita harus memperhatikan pendidikan mereka, berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan positif kejiwaan mereka. 

Sebagai orang tua, kita juga harus memperhatikan pergaulan anak-anak kita yang menjadi faktor penentu dalam perkembangan sosial mereka. Kita harus mengajarkan kesederhanaan dalam keseharian mereka. Karena Rasulullah SAW sudah contohkan, bahwa meski hidup dalam kondisi yg sederhana, tapi kebahagiaan selalu Beliau rasakan. Maka demikianlah mestinya kita menciptakan lingkungan sosial dan kekeluargaan bagi anak-anak harapan generasi Islam tersebut.

Di samping itu, hal lain yang harus kita perhatikan dalam mendidik anak adalah memberikan Rejeki yang Halal selama pertumbuhan mereka. Karena rezeki halal dapat mempermudah mereka menjalani kesalehan dan ketaqwaan. Sementara jika kita kurang-hati-hati dan teledor dengan memberikan mereka asupan energi dan suplai pertumbuhan maupun pendidikan dari rezeki halal, maka sama saja dengan menginginkan mereka menjadi lahan empuk bagi tumbuhnya kemungkaran dalam diri anak-anak kita sendiri. Rezeki yang halal akan memudahkan mereka menerima hidayah dan keberkahan dalam menjalani proses pertumbuhan dan pendidikannya. 

Marilah kita mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah dengan mengenalkan jalan dakwah kepada generasi Islam sedini mungkin dengan penuh kebijakan dan keteladanan yang mulia. Bukan zamannya lagi jika kita hanya mendidik tanpa memperhatikan perkembangan psikologi mereka. Bukan zamannya lagi jika kita hanya mengandalkan kekerasan dalam mendidik anak.

Memang benar, bahwa Rasulullah SAW memperbolehkan kita untuk memukul anak-anak jika mereka lalai mengerjakan shalat. Namun bukan berarti dengan demikian kita dapat memukul mereka dengan seenaknya saja. Karena anak-anak senantiasa membutuhkan kasih sayang yang dapat mereka cerna dan mereka sadari. Anak-anak ingin mengerti bahwa orang tua mereka menyayangi mereka, sehingga mereka dapat membalas kasih sayang tersebut dengan kesungguhan belajar dan berusaha menjadi baik bagi lingkungan dan masyarakatnya. Artinya anak-anak akan merasa memiliki tanggung jawab menjadi shaleh dan shalihah jika mereka juga mengerti bahwa kedua orang tuanya mencontohkan kesalehan dan keteladanan yang baik terhadapnya.   

Tentang hal ini, Al-Qur’an mengajarkan :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
 (QS. an-Nahl, 16:125)

Artinya, jika kita menginginkan anak-anak kita menjadi generasi yang baik dan santun, tentu kita harus mengajarkan kebaikan dan sopan santun serta etika Islam kepada mereka.

Selain itu, dalam memilihkan atau mengarahkan pendidikan bagi anak-anak, kita dapat memperhatikan bakat dan kecenderungan mereka. Kita dapat menyekolahkan mereka menurut bakat positifnya masing-masing, sehingga ketika telah menjadi dewasa nantinya, mereka tidak memiliki keraguan akan kemampuan dan potensi dirinya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah,  

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. 
(QS. Ali Imran 3: 104)

Ada yang menjadi muballigh, tentara, pedagang, guru atau pun yang lainnya. Dengan demikian generasi Islam yang kita dambakan bersama dapat segera terwujud menjadi sebuah kenyataan. Dan izzul Islam wal muslimin dapat kita gapai bersama, karena generasi muda saat ini tentu akan menjadi pemimpin Islam di kemudian hari.  

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Didiklah anakmu karena kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu.”

Maka kita harus memberikan bekal ketaqwaan yang cukup kepada mereka, apapun profesi yang menjadi pilihan mereka kelak. Karena tanpa ketaqwaan, mustahil mereka dapat menjadi generasi Muslim yang dapat diandalkan dan ditunggu peran sertanya dalam pembangunan bangsa dan umat. 

Sebagaimana firman Allah,   

وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ الَّتقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَا أُولِي اْلألْبَابِ

Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.
(QS. al-Baqarah, 2:197).

Demikianlah kalimat penghujung dari penulis untuk pembaca, dimana semua yang telah penulis ungkapkan dan gambarkan diatas, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, setidaknya untuk mengingatkan kita bahwa setelah kita berjuang dalam menempuh perjalanan dalam kehidupan ini, tentu pada akhirnya kita akan berada diantara 2 (dua) Golongan saja, seperti yang telah penulis ulas diatas. Sehingga akan terjawab oleh batin kita masing-masing dari pertanyaan besar diatas yakni, Mengapa kita perlu mempertanyakan seberapa kedekatan kita kepada Allah SWT. ......Wassalam...